Perang Dingin Antara Blok Barat dan Blok Timur
Oleh Purnama Julia Utami
Menurut
Wikipedia Indonesia : Perang Dunia I menjadi saat pecahnya orde dunia lama,
menandai berakhirnya monarki absolutisme di Eropa. Ia juga menjadi pemicu
Revolusi Rusia, yang akan menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya
seperti Tiongkok dan Kuba, dan merupakan basis bagi Perang Dingin antara Uni
Soviet dan Amerika Serikat. Kekalahan Jerman dalam perang ini dan kegagalan
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih menggantung yang telah menjadi
sebab terjadinya Perang Dunia I akan menjadi dasar kebangkitan Nazi, dan dengan
itu pecahnya Perang Dunia II pada 1939. Ia juga menjadi dasar bagi peperangan
bentuk baru yang sangat bergantung kepada teknologi, dan akan melibatkan
non-militer dalam perang seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Perang
Dingin (Cold
War) ditandai dengan pembagian blok yang kentara antara Blok Timur pimpinan
Uni Soviet yang berhaluan komunis dengan blok Barat pimpinan Amerika Serikat
yang menganut kapitalisme. Hubungan internasional pada kurun waktu sejak
berakhirnya Perang Dunia II tak lepas dari kerangka Perang Dingin.
Dominasi Uni
Soviet dan Amerika Serikat terhadap para sekutunya menyebabkan hubungan
internasional sangat dipengaruhi kepentingan kedua negara adidaya. Tidak
mengherankan muncullah blok-blok aliansi yang lebih didasarkan pada persamaan
ideologis.
Hampir semua
langkah diplomatik dipengaruhi oleh tema-tema ideologis yang kemudian
dilengkapi dengan perangkat militer. Pertentangan sistem hidup komunis dan
liberal ini sedemikian intensifnya sehingga pada akhirnya perlombaan senjata
tak dapat dihindarkan lagi karena dengan jalan menumpuk kekuatan nuklir itulah
jalan terakhir menyelamatkan ideologinya.
Menurut
Juwono Sudarsono (1996), secara resmi apa yang dikenal sebagai Perang Dingin
berakhir pada kurun waktu 1989-1990 dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9
November 1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur pada 3 Oktober 990.
Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991
bersamaan dengan mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara.
Setelah
berakhirnya Perang Dingin yang ditandai antara lain runtuhnya Tembok Berlin dan
bubarnya Uni Soviet, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya.
Paradigma
Perang Dingin 1949-1989 seperti Juwono jelaskan terbagi pada beberapa tahap
perkembangan sesuai dengan realitas hubungan antar bangsa. Juwono menilai
secara politis Perang Dingin terbagi atas tahap 1947-1963 dengan beberapa
puncak persitiwa seperti Blokade Berlin 1949, Perang Korea 1950-1953, Krisis
Kuba 1962 dan Perjanjian Proliferasi Nuklir 1963.
Selanjutnya
selama Perang Vietnam 1965-1975, paradigma Perang Dingin terbatas pada
persaingan berkelanjutan antara AS dan Uni Soviet di beberapa kawasan strategis
dunia. Salah satu yang terpenting, kata Juwono, terjadi dalam Perang
Arab-Israel 1967-1973.
Perundingan
senjata strategis yang mulai dirintis dan dikukuhkan melalui Perjanjian SALT I
juga menjadi salah satu ciri periode ini.
Selama kurun
waktu yang panjang itulah isu-isu seperti pertentangan ideologis, perebutan
wilayah pengaruh, pembentukan blok militer, politik bantuan ekonomi yang
dilatarbelakangi kepentingan ideologis, spionasi militer dan pembangunan
kekuatan nuklir menjadi tema-tema penting.
Oleh karena
itu di tengah pertentangan Blok Timur dan Barat itulah muncul apa yang disebut
Negara Non Blok. Indonesia menjadi salah satu pelopor berdiringa Gerakan Non
Blok yang banyak menarik perhatian negara-negara yang baru merdeka sesudah
1945. Cina meskipun tergolong negara besar dan memiliki hak veto di Dewan
Keamanan PBB, namun menjadi salah satu anggota GNB hingga kini.
Jika pada
masa Perang Dingin isu-isu ideologis dan militer sangat dominan. Hampir semua
hubungan antar bangsa diterjemahkan kedalam konteks perang ideologi. Pada era
pasca Perang Dingin, tema-tema ideologis menyurut. Sebagai gantinya muncul
isu-isu seperti hak asasi manusia, politik-ekonomi dan demokratisasi.
Namun kini ketika
sumbu-sumbu perang dingin masih membara Kekuatiran AS terhadap Rusia
muncul kembali dan ini akan menjadi benih baru munculnya Perang Dingin versi
abad 21 terutama, sekali lagi, di daratan Eropa. Sebagaimana diketahui bahwa
guna penyeimbang kekuatan pada masa Perang Dingin, AS adalah pendukung dan
penggerak utama dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO) yaitu
organisasi keamanan bersama negara-negara di kawasan Atlantik Utara dalam
menghadapi kemungkinan adanya ancaman serius dari Negara-negara Blok Timur yang
dikomandani oleh Uni Soviet. Dan lebih menarik lagi, dalam organisasi NATO saat
ini, setelah runtuhnya Uni Soviet, bergabung pula beberapa negara Blok Timur.
Bergabungnya
beberapa negara Blok Timur berakibat berobahnya peta kekuatan politik dan
militer di Eropa.
Namun
begitu, Federasi Rusia dengan angkatan bersenjatanya tidak bisa dianggap enteng
karena kekuatan militer dan persenjataan konvensionalnya masih terkuat dan
terbesar di Eropa.
Sebenarnya,
untuk mengantisipasi terjadinya konflik bersenjata, tahun 1990 Federasi Rusia
ikut serta dalam Perjanjian Kekuatan Militer Konvensional di Eropa atau
Conventional Forces in Europe (CFE) dan kemudian diperbarui tahun 1999 di
Istanbul. Baik perjanjian tahun 1990 kemudian diperbarui tahun 1999, menetapkan
batasan yang tepat bagi penempatan pasukan dan senjata berat dari pantai
Atlantik sampai ke pegunungan Ural Rusia. Perjanjian inilah yang dianggap
penting yang akan membantu berhentinya Perang Dingin.
Namun,
mendadak Federasi Rusia menangguhkan perjanjian CFE di Eropa beberapa hari yang
lalu. Penangguhan Rusia ini jelas berkaitan dengan rencana AS untuk menggelar
satu perisai anti peluru kendali yang akan ditempatkan di dua negara bekas
negara satelit Uni Soviet. Sebaliknya juga, negara-negara anggota NATO akan
meratifikasi perjanjian CFE jika Rusia menepati janji yang dibuatnya tahun 1999
untuk menarik pasukannya dari Georgia dan Moldova, dua negara yang tadinya
bergabung dalam Uni Soviet.
Dari dua hal
tersebut, pertama karena AS akan menempatkan peluru kendali di dua negara bekas
satelit Uni Soviet dan kedua, Rusia yang tidak menempati janjinya untuk menarik
pasukannya dari Georgia dan Moldova, menjadikan kekuatiran dunia internasional
bahwa Perang Dingin antara dua kekuatan besar (AS dan Rusia) akan menyulut
sumbu-sumbu lama dan bukan tak mungkin bara panasnya akan mengimbas ke
wilayah-wilayah lain, tidak saja di daratan Eropa, bahkan keluar dari benua
Eropa.
Perebutan posisi
hegemoni ekonomi dan politik ketimbang hegemoni kekuatan militer yang
merupakan ciri baru perkembangan dunia pasca Perang Dunia II, mungkin saja akan
dilengkapi kembali dengan kekuatan militer, dan hal ini tentu saja akan
mengancam keamanan dan ketertiban dunia. Seyogyanyalah, dua negara besar yang
saling berpegang pada alasan masing-masing sebagaimana di kemukakan di atas,
duduk kembali berunding mencari solusi yang tepat