Sekilas tentang sejarah kota lamongan meski penyusunan makalah ini berfokus pada isi dan tidak menggunakan kata pengantar namun saya sangat berharap sobat blogger mau menambahkan sendiri maklum kadang terlalu sibuk jadinya rada kurang mood.
so monggo jika manfaat jangan lupa G+ AND komennya ...
BAB III
Tinjauan Pustaka
A.
Pembahasan
Masa
Perkembangan Hindu
Pengaruh
agama dan kebudayaan hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas, hal ini
terbukti dengan ditemukannya arca dan lingga -yoni. Arca yang ditemukan di
wilayah Lamongan sebanyak 7 buah, tersebar di wilayah kecamatan Lamongan,
Paciran, Modo, Sambeng, dan Kembangbahu. Sedangkan lingga dan yoni ditemukan di
3 wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Ngimbang, Kembangbahu dan Sugio.
Hingga
sekarang belum dapat dipastikan sejak kapan pengaruh agama dan kebudayaan hindu
tersebut mulai masuk dalam kehidupan masyarakat di wilayah Lamongan, namun
munculnya nama wilayah ini dalam panggung sejarah majapahit hingga arti penting
wilayah ini bagi kerajaan majapahit adalah pada akhir abad XIV. Peranan wilayah
Lamongan dalam Pemerintahan Majapahit ini dapat diketahui dengan ditemukannya
43 buah prasasti peninggalan Majapahit di wilayah Lamongan.
Menilik
dari sebaran prasasti yang ada di wilayah Lamongan, dapat dipastikan bahwa
eksistensi masyarakat Lamongan dalam bidang politik dan keagamaan disamping
merata, juga kuat. Sebaran prasasti itu terdapat di wilayah-wilayah kecamatan
meliputi Kecamatan Lamongan sebanyak 2 buah, Mantup 2 buah, Modo 7 buah,
Ngimbang 8 buah, Sambeng 9 buah, Bluluk 6 buah, Sugio 2 buah, Deket 1 buah,
Turi 1 buah, Sukodadi 1 buah, Babat 1 Buah, Brondong 1 buah, Paciran 2 buah.
Dari
43 buah prasasti tersebut, 39 buah diguris di atas batu dan 4 lainya diguris
diatas lempengan tembaga, yang dikenal dengan Pasasti Biluluk I,II,III, dan IV
yang saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode E.97 a-d.
Prasasti ini berasal dari zaman Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan
Wikramawhardana (1389-1429). Prasasti tersebut ditulis dalam huruf jawa kuno
dan telah di transkrip oleh Dr. Callenfels dalam OV.1917,1918, dan 1919. H.M
Yamin memuat kembali transkrip itu dengan sari terjemahannya kedalam bahasa
Indonesia dalam bukunya Tata Negara Majapahit Parwa II . Museum Nasional
menyalin kembali dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional I, dan Pigeaud
membahasnya secara mendalam pada bab tersendiri dalam bukunya Java in the 14th
Century.
Dari
banyaknya prasasti yang ditemukan, diperoleh petunjuk yang kuat bahwa wilayah
lamongan merupakan wilayah yang cukup berarti bagi pemerintahan kerajaan majapahit,
secara kebudayaan dan agama. Petunjuk lain kyang dapat diperoleh ialah bahwa
perhubungan antara pusat wilayah kerajaan dengan wilayah Lamongan sudah cukup
ramai.
Prasasti
biluluk I-IV yang berangka tahun 1288 – 1317 Saka atau tahun 1366-1395 M merupakan
suarat atau titah raja yang diturunkan dan tujukan kepada kepada keluarga
kerajaan yang memerintah di biluluk dan Tanggulunan.
Isi
prasasti itu antara lain;
Orang biluluk diberi wewenang untuk menimba
air garam pada saat upacara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah
mereka miliki sejak dulu asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan akan
dikenakan cukai.
Rakyat biluluk dan tanggulunan memperoleh
perlindungan dan restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan
terkena supata atau kutukan yakni akan menderita kecelakaan, seperti antara
lain; apabila mereka berada dipadang tegalan akan digigit ular berbisa, apabila
masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan
dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka dan mati.
Memberi kebebasan kepada rakyat biluluk
untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti ; berdagang , membuat arak,
memotong, mencuci, mewarna, memutar (menurut pigeaud, membuat tepung, gula
aren, atau tebu), dan membakar kapur tanpa dipungut pajak.
Status daerah perdikan biluluk dan
tanggulunan ditingkatkan dari daerah shima menjjadi daerah swatantra, sebagai
daerah swatantra atau otonom dan rakyat yang dicintai oleh raja, mereka bebas
dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan seerta bekal kepada para
petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan
membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun bayi, pembakaran
jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan,
penitipan barang dagangan berupa cabai kemukus, kapulaga, besi, kuali besi,
pinggan rotan dan kapas.
Petunjuk bahwa daerah bluluk dan
tanggulunan diberi status swatantra, agar tidak dikuasai oleh sang katrini
(pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan
pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan dan ketentraman.
Kegiatan perekonomian diwilayah kerajaan
majapahit umumnya di biluluk dan tanggulunan khususnya sangat penting artinya
bagi negara dan penduduk sendiri. Komoditi perdagangan dari biluluk yang
menonjol adalah; garam gula kelapa atau aren, dan daging dendeng. Dendeng pada
masa itu tergolong makanan mewah dan komoditas dagangan yang mahal. Bagi rakyat
biluluk sendiri, perdagangan dendeng sangat menguntungkan. Usaha yang juga
berkembang di biluluk ialah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras
atau tepung, dan bahan-bahan makanan dari tepung umbi atau kentang.
Setiap tahun diselenggarakan keramaian atau
pasar tahunan yang berfungsi sebagai promosi berbagai macam barang
dagangan.Menelaah prasasti Biluluk dan memperhatikan persebaran banda
peninggalan purbakala di wilayah lamongan sekarang, kata biluluk secara pasti
dapat diidentifikasi dengan Bluluk sekarang. Kata tangulunan agaknya tidak lain
adalah Tenggulun yang sekarang menjadi sebuah desa diwilayah Kecamatan Paciran
berbatasan dengan Kecamatan Laren. Desa ini dalam buku Sejarah Brigade
Ronggolawe disebut sebagai desa trenggulunan. Sedangkan kata pepadang agaknya
tidak berada dalam wilayah Lamongan, mungkin sekarang Desa Padang di wilayah
kecamatan Trucuk, Bojonegoro, yakni sebuah desa di tepian bengawan solo sebelah
barat kota Bojonegoro atau mungkin Kecmatan Padangan dekat kota Cepu sekarang.
Dengan
demikian wilayah Lamongan pada waktu itu terbagi kedalam dua daerah swatantra
atau daerah otonom, yaitu Bluluk dibagian selatan dan barat dan Tanggulunan
dibagian utara dan timur wilayah Lamongan sekarang. Tentang adanya wilayah
kekuasaan lebih dari satu di Lamongan, juga diperoleh informasi dari de Graaf
dan Pigeaud, bahwa pada tahun 1541 dan 1542 Demak mengalahkan para penguasa di
Lamongan (zouden de heersers Lamongan).
Tentang
hubungan prasasti tersebut dengan Majapahit disebutkan dalam prasasti Biluluk
I, yaitu “makanguni kang adapur ing majapahit, siwihos kuneng yan hanang
rubuhakna wangsyaningon kang biluluk, kang tanggulunan amangguha papa,…..”,
artinya “pertama sekali kepada dapur majapahit, tetapi sekiranya ada yang
merugikan rakyatku di Biluluk dan Tanggulunan, maka mereka itu akan menderita
kecelakaan……” Kata adapur menurut pigeaud adalah kelompok pembuat garam.
Kelompok pembuat garam ini di Majapahit mendapat pujian dan penghargaan. Dengan
demikian wilayah Bluluk dan Tanggulunan langsung atau tidak langsung berada
dalam kekuasaan Majapahit.
Dari
isi prasasti juga dapat dimengerti kedudukan Lamongan terhadap Mjapahit, yakni
Lamongan termasuk kategori daerah yang strategis dalam politik Majapahit,
karena daerah ini merupakan jalur penting menuju dunia luar dengan Tuban
(Sedayu) sebagai Pelabuhan utama. Karena pentingnya itu, maka daerah-daerah
tersebut diberi hak otonomi yang luas dengan hak-hak istimewa yang menyangkut
kewenangan mengatur perangkat pemerintahan, masyarakat, perpajakan, dan
perekonomian atau perdagangan. Disamping itu kedua daerah otonom itu memperoleh
perlindungan yang memadai dari pemerintahan kerajaan Majapahit. Untuk
memantapkan kekuasaan penguasa dan rakyatnya, maka kedua daerah tersebut
dipercayakan dan dikuasakan kepada paman raja hayam wuruk sendiri yang bernama
Sri Paduka Bathara Parameswara.
Dalam
hubunganya dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan, Lamongan (Biluluk dan
Tanggulunan) agaknya menempati posisi cukup penting, karena jalur utama antara
pusat kerajaan Majapahit dengan palabuhan dagang Tuban harus lewat daerah ini.
Jalur perdagangan itu diperkirakan melalui Mojokerto ke utara lewat Kemlagi,
terus ke pamotan – Wateswinangun-Lamongrejo- Ngimbang- Bluluk-
Modo-Babat-Pucuk-Pringgoboyo-Laren-terus ke Tuban. Dari Tanggulunan ke pusat
kerajaan agaknya juga lewat pringoboyo dengan terlebih dahulu menyusuri
Bengawan solo.
Desa
Pringgoboyo, berdasarkan temuan batu bata kuno, diperkirakan sudah menjadi
tempat yang ramai dan menjadi pos penjagaan kerajaan baik untuk kepentingan
keamanan pusat kerajaan, maupun untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan,
yakni tempat memeungut cukai barang dagangan yang melewati jalur tersebut
(bengawan solo).
Banyak
dari masyarakat lamongan mempercayai bahwa pada zaman sejarah masyarakat
lamongan memeluk agama budha walaupun tidak ada bukti peninggalan sejarah
seperti arca budha dan lainya, tetapi dari penuturan orang-orang tua
didesa-desa bahwa agama orang zaman dulu itu agama budha.
Warga
Lamongan tidak suka hidup kepura-puraan, akan tetapi menyukai hidup yang lugas,
apa adanya dan tanpa pamrih.
• Tari
Boran (Sego Boran)
Tari Boranan merupakan kreasi terbaru dari
daerah Lamongan. Nama tari tersebut terinspirasi dari makanan tradisional
Lamongan yaitu "Nasi Boranan". Boran adalah istilah khas Lamongan
yang terbuat dari bambu untuk tempat nasi. Dalam penampilan Tari Boranan,
dibawakan secara berpasangan degan membawa properti bakul ( boran).
• Pengantin
Bekasri
Daerah lamongan
memiliki tradisi sendiri dalam melaksankan upacara pernikahan, pernikahan di
Lamongan ini disebut pengantin bekasri. berasal dari kata bek dan asri, bek
berarti penuh, asri berarti indah/menarik, jadi bekasri berarti penuh dengan
keindahan yang menarik hati. pada dasarnya tahapan dalam pengentin bekasri
dapat dijadikan dalam empat tahap yaitu tahap mencari mantu, tahap persiapan
menjelang peresmian pernikahan, tahap pelaksanaan peresmian pernikahan dan
tahap setelah pelaksanaan pernikahan.
• Tari
Turunggo Sulah
Tari ini menggambarkan sekelompok prajurit
berkuda yang sedang berlatih. Mereka terlihat sangat lincah. Tari ini merupakan
pengembangan dari kesenian Kepang Dor yang bertujuan untuk melestarikan
kesenian-kesenian yang masih sangat banyak di Kabupaten Lamongan. Tari Turonggo
Solah juga berasal dari Lamongan. Tari Turonggo dapat ditampilkan dalam bentuk
tunggal, berpasangan, atau secara kelompok. Tema yang dipergunakan Tari
Turonggo Solah adalah tema pendidikan, yang dilatar belakangi dari Tari Kepang
Jidor. Dalam penampilannya, Tari Turonggo Solah memiliki dua gaya, yaitu gaya
feminim dan gagah. Penarinya membawa properti kuda-kudaan atau kuda lumping
yang terbuat dari bahan bambu.Tari Turonggo Solah berkarasteristik gerakannya
lincah dan gagah. Tarian ini sering disajikan sebagai tari pertunjukkan dengan
iringan musik gamelan jawa, akan tetapi yang lebih dominan adalah alat musik
jidor. Busana penari memakai gaya Jawa Timuran.
tari caping ngancak
Tari
ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat Lamongan yang sebagian besar
adalah masyarakat petani. Tari ini menggambarkan proses para petani yang sedang
bekerja mulai dari menanam, merawat, hingga memanen.
• Tari
Silir-Silir
]Tari silir-silir
merupakan rangkaian perwujudan angin yang bertiup lembut. Angin tersebut
berasal dari lambaian lembut kipas para penarinya. Oleh sebab itu tari
silir-silir diperagakan oleh penari dengan membawa kipas.
• Tari
Sinau
Tari
ini menceritakan sekelompok anak yang sedang menimba ilmu agama Islam, atau
biasa disebut mengaji. Mereka berbondong bondong untuk mempelajari agama Islam,
yang merupakanb tradisi masyarakat Lamongan untuk menimba ilmu agama sejak
dini.
• Tari
Mayang Madu
Tari ini menceritakan tentang perjalanan Wali
Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Penyebarannya melalui
kesenian, salah satunya dengan musik. Musik yang dipakai adalah Singo Mengkok.
Tari mayang Madu berasal dari daerah Lamongan. Tari ini biasa ditampilkan dalam
bentuk tari tunggal, tari kelompok, maupun tari massal. Tari Mayang Madu
mempunyai konsep islami dan tradisional, karena Tari Mayang Madu diilhami dari
kegigihan syiar agama islam di Lamongan yang disebarkan oleh Sunan Drajat
dengan cara menggunakan gamelan sebagai medianya. Gamelan Sunan Drajat terkenal
dengan sebutan gamelan "Singo Mengkok". Latar belakang Sunan Drajat
menggunakan media seni karena pada saat itu masyarakat banyak yang masih
memeluk agama Hindu, Budha dan pengaruh dari kerajaan Majapahit.
• Tari
Kiprah Bahlun
Tari ini merupakan tari pembuka dalam kegiatan
kesenian tayub khas Lamongan. Tari ini menceritakan tentang ucapan rasa syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.